Kamis, 06 Maret 2008

Seminggu Di Wina, Austria

Saya diundang duta besar negara Austria ke Wina bulan Desember 2007 untuk bertindak sebagai anggota juri sayembara perancangan gedung kedutaan besar Austria di Jakarta. Sayembara tersebut diikuti para arsitek muda Austria dan para jurinya adalah ketua umum Asosiasi Insinyur dan Arsitek Austria, ketua seksi Arsitek dalam asosiasi tersebut, seorang ahli lingkungan, seorang arsitek profesional, seorang ahli struktur bangunan gedung dan seorang wakil dari kementrian luar-negri ditambah saya mewakili juri internasional. Sebagai imbalannya saya dijamu untuk tinggal selama seminggu di kota Wina, padahal penjuriannya hanya berlangsung selama 1 hari.

Musik klasik, Dansa, Museum dan Opera

Wina identik dengan musik klasik, dansa, museum dan opera. Dulu kesenian tersebut merupakan bagian dari kehidupan sosial kaum elit Eropa, para bangsawan dan keluarga kerajaan. Sekarang, setelah feodalisme dihapus, semua warga Wina melestarikannya sebagai bagian dari kehidupan sosial-budaya mereka. Mengapa?
Jawabannya ada di perancangan bangunan gedung operanya itu sendiri, yang didirikan dalam periode kerajaan
Austria. Di sana selalu tersedia tempat untuk menyaksikan pertunjukan opera dan konser musik dalam posisi berdiri. Harga karcisnya murah sekali sehingga terjangkau masyarakat biasa. Meskipun demikian lokasinya justru berada di tempat yang paling enak untuk menonton sebuah pertunjukan, yaitu di poros panggung, setelah barisan tempat duduk paling belakang. Karena itu tidak mengherankan apabila masyarakat biasapun mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap jenis kesenian klasik tersebut karena dengan anggaran terbatas dan posisi yang kurang nyaman mereka tetap diberi lokasi terbaik di dalam gedung. Masyarakat biasa tersebut kini diwakili warga Austria. Karena itu tidak mengherankan apabila merekapun memberi apresiasi yang tinggi juga kepada musik dan opera klasik serta dansa anggun sehingga jenis kesenian ini tetap langgeng sampai sekarang. Karcis untuk tiap pertunjukan selalu terjual habis dan dansa anggun tetap digemari.

Bandingkan dengan yang terjadi di Indonesia. Museum maupun gedung pertunjukannya kosong kecuali saat pembukaan pameran hasil karya dan pertunjukan seniman besar Indonesia atau dunia. Mengapa? Boleh jadi karena sejak masa penjajahan sudah ditarik batas yang tegas antara pribumi sebagai pihak yang mewakili masyarakat biasa dan penjajah sebagai pihak yang mewakili masyarakat elit. Itupun terlihat dalam perancangan bangunan-bangunan gedungnya. Museum Nasional di Medan Merdeka Barat, Jakarta misalnya, dirancang dalam periode penjajahan hanya untuk masyarakat elit yang tergabung dalam kelompok pencinta dan pemerhati benda-benda antik nan eksotik. Demikian pula Gedung Kesenian di Pasar Baru, Jakarta. Bangunan gedung tersebut dirancang hanya untuk kaum elit (penjajah). Di sana tidak tersedia tempat bagi penonton dalam posisi berdiri karena pribumi memang tidak diperkenankan menonton pertunjukan dalam gedung itu. Sebab itu tidak mengherankan apabila sebagian besar warga Jakarta sekarang ini belum pernah memasuki Museum Nasional dan Gedung Kesenian meskipun pihak pengelola kedua gedung tersebut sudah berupaya sekuat tenaga. Di tahun ’60-an misalnya, pengelola Museum Nasional menyelenggarakan pertunjukan lagu-lagu daerah yang dibawakan oleh para penyanyi tenar ketika itu, seperti Upit Sarimanah untuk lagu-lagu berbahasa Sunda, secara bergantian setiap hari Minggu. Upaya itu tetap tidak berhasil membangkitkan minat warga Jakarta untuk mengunjungi museum di hari-hari lainnya. Mereka hanya datang bersama keluarga di hari Minggu untuk menonton penyanyi kesayangannya saja sambil berpiknik di situ. Acara tersebut akhirnya dihapus karena alih-alih menambah jumlah pengunjung ke museum, pihak pengelola akhirnya kehabisan tenaga dan biaya untuk membersihkan sampah yang berserakan seusai pertunjukan.

Pemerintah Hindia-Belanda dalam periode desentralisasi di awal abad ke 20 sebetulnya sudah berusaha memperbaiki situasi. Mereka mengikut-sertakan masyarakat pribumi dalam berbagai kegiatan, baik keagamaan, pemerintahan, perekonomian sampai dengan kebudayaan. Teater Sobokarti di Semarang misalnya, dirancang sebagai sarana bagi masyarakat pribumi agar terbiasa menonton pertunjukkan kesenian di dalam bangunan gedung sebagai pengganti kebiasaan sebelumnya, yaitu di ruang terbuka. Di lain pihak, penyediaan sarana tersebut juga dimaksudkan untuk membiasakan para seniman pertunjukan memperagakan keseniannya di dalam bangunan gedung ketimbang di sembarang tempat mereka berkeliling. Upaya inipun rupanya tidak berhasil membangkitkan apresiasi masyarakat terhadap seni pertunjukan karena setelah pengakuan kedaulatan Negara Indonesia bangunan gedungnya mulai sepi dari pengunjung dan sekarang bahkan akan dibongkar.

Seni pertunjukan di dalam maupun luar bangunan gedung di Indonesia saat ini tengah sekarat. Bangunan-bangunan gedungnya mulai digusur dan para senimannya dibiarkan berpencar mengadu nasibnya masing-masing. Ada yang berhasil menuai panen di Jakarta namun lebih banyak lagi yang jatuh miskin dan menjadi kaum dhuafa. Setelah berkunjung ke sejumlah gedung pertunjukan di Wina, saya bertanya-tanya dalam hati mengapa kita tidak mampu memelihara seni pertunjukan Indonesia dan menjadikannya bagian dari kehidupan masyarakat seperti yang terjadi di sana? Kesalahan apa yang telah kita lakukan selama ini?

Café dimana-mana

Wina adalah kota café. Dimana-mana ada café dan tidak ada satupun yang kosong karena warga Wina senang minum kopi, baik sendiri maupun beramai-ramai. Dari obrolan dengan rekan arsitek di sana saya diberitahu bahwa mereka tidak menerima budaya minum kopi tersebut dari Itali melainkan dari Turki ketika masih diperintah Dinasti Usmaniyah, yaitu saat Dinasti Islam tersebut berusaha menduduki Wina namun 2 kali gagal karena dihambat suhu udara yang terlalu dingin. Di saat pengepungan tersebut terjadilah pertukaran budaya dan minum kopi menjadi salah satu kebiasaan yang diambil-alih warga Wina. Dewasa ini terdapat sekitar 12 jenis minuman kopi yang digemari di Wina dan tak ada satupun yang rasanya seperti minuman kopi di Itali. Bahkan cappucino-nya saja berbeda, demikian pula cangkirnya. Starbuck Coffee tidak terlalu populer di sini karena menjajakan kopi dengan cita-rasa internasional dan dapat dibawa untuk diminum di tempat lain. Itu bukan kebiasaan warga kota Wina. Mereka minum kopi di café, tidak di sembarang tempat karena sekaligus menjadi medium bersosialisasi dengan sesama warga kota.

Pantaslah bila pasukan Dinasti Usmaniyah tidak tahan terhadap cuaca kota Wina di musim dingin. Dalam satu hari suhu udara dapat berubah mendadak secara ekstrim saat tiupan angin datang dengan tiba-tiba dalam kecepatan tinggi, lalu menghilang. Tiupan itu demikian kerasnya sehingga dapat merobohkan tenda dan bahkan sepeda motor sekalipun terguling. Di musim dingin kota Wina juga sering disiram hujan rintik-rintik. Karena itu banyak warga Wina yang membawa payung saat berada di luar bangunan gedung. Namun angin yang datang dengan kerasnya itu mampu mencabut payung dari tangan pemegangnya atau membengkokkannya sampai rusak tak terpakai lagi. Pasukan Dinasti Usmaniyah pasti tidak mampu bertahan menghadapi situasi seperti itu. Bayangkan, ketika tengah berdiang di dalam tendanya masing-masing tiba-tiba datang tiupan angin keras yang menerbangkan tenda-tenda tersebut sehingga pasukannya mendadak berada dalam suhu dingin yang amat menyakitkan karena jari-jari tangan yang sudah terbalut sarung tangan sekalipun akan terasa ba’al terkena tiupan angin tadi sementara helmet pelindung mendadak menjadi dingin sekali sehingga kepala berdenyut lebih kencang dan terasa pusing menyakitkan. Bagaimana bisa berperang dengan kondisi tubuh seperti itu? Lebih baik pulang saja ke Turki yang lebih hangat suhu udaranya.

Hans Hollein

Sehari setelah penjurian saya diajak menghadiri peringatan 100 tahun profesi arsitek di Austria. Selain asosiasi insinyur dan arsitek, para arsitek Austria juga membentuk perkumpulan yang mereka sebut Masyarakat Arsitek Austria. Perkumpulan inilah yang menyelenggarakan peringatan tersebut di sebuah gedung tua bekas gudang penyimpanan semua peralatan panggung gedung Opera yang bersebelahan letaknya. Perkumpulan ini bersifat sosial namun lebih berwibawa daripada asosiasi tadi karena mencakup semua lulusan jurusan arsitektur di Austria dari yang paling senior sampai paling muda. Ketuanya tidak mencalonkan diri melainkan didaulat para anggotanya dan masa jabatannya tidak dibatasi melainkan sampai yang bersangkutan mengundurkan diri atas permintaannya sendiri. Saat ini ketua perkumpulan tersebut dijabat arsitek Hans Hollein. Umurnya sudah 73 tahun, badannya sudah agak bungkuk dan tangannya sudah gemetaran apabila memegang benda. Tapi dia belum memakai kacamata karena penglihatannya masih tajam, apalagi ingatannya. Ucapannya juga masih jelas, belum bergumam. Ketika saya beritahu bahwa Pak Goestaf Abbas, dosenku di masa pendidikan S1, adalah teman kuliahnya di University of California, Berkeley; dia langsung ingat karena menurut penuturannya ketika itu jumlah mahasiswa seangkatan dia hanya 13 orang. Ketika saya ceritakan bahwa menurut Pak Goestaf dia mahasiswa yang aneh karena selalu mengenakan baju hitam, celana hitam dan dasi putih, dia tertawa lepas karena saat itupun kostumnya serba hitam sementara dasinya putih. Saya sengaja tidak menyampaikan cerita pak Goestaf mengenai kegilaannya yang lain, yaitu merancang tugu peringatan berwujud penis, karena saat itu banyak arsitek lain yang ikut mendengarkan obrolan kami.

Saya mengetahui dirinya untuk pertama kali melalui buku karangan Charles Jencks, The Language of Architecture, pada tahun 1974 menjelang memasuki studio proyek akhir di FTUI Jurusan Arsitektur. Dalam bukunya Jencks menceritakan tentang munculnya jenis perancangan arsitektur baru yang disebut post-modern dan rancangan Hans Hollein untuk sebuah toko di kota Wina, Austria dinilai mewakili jenis arsitektur baru tersebut. Sejak itu namanya terangkat ke tingkat internasional sebagai salah satu pelopor arsitektur post-modern dan karya-karyanya mulai masuk dalam publikasi majalah-majalah arsitektur. Pintu masuk toko hasil karyanya bahkan ditiru mentah-mentah di sebuah rumah makan di bangunan gedung Sarinah, Jakarta. Saya tidak memberitahukan penjiplakan itu kepadanya karena amat memalukan dan melanggar etika profesi arsitek, apalagi sampai sekarangpun saya tidak tahu siapa arsitek Indonesia yang melakukan perbuatan memalukan tersebut. Pertemuan pertama dengan dia terjadi pada tahun 1982 ketika saya berada di London mengikuti pendidikan pasca-sarjana di The Architectural Association. Ketika itu dia mengisi kuliah umum dan menguraikan karya-karyanya yang mutakhir. Saya masih kuper (kurang pergaulan) waktu itu sehingga tidak berani mengajukan pertanyaan atau menghampirinya seusai kuliah umum tersebut sekedar untuk berjabat-tangan. Saya selalu ingat kuliah umum itu karena setelah memaparkan seluruh karya-karyanya dia memutarkannya kembali dari awal, kali ini diiringi musik ciptaan Mozart. Ketika saya ceritakan peristiwa itu kepadanya dia langsung ingat judul kuliahnya padahal kejadiannya berlangsung 20 tahunan yang lalu. Luar biasa!

Sekarang, di usianya yang sudah lanjut itu, dia masih tetap berpraktek dan saat ini tengah mengerjakan sebuah proyek di Austria, Peru dan satu negara lainnya di Amerika Latin (malah saya yang tidak ingat!) Namun dia tidak congkak. Sebaliknya, amat merendah juga ramah pada siapapun. Di tengah obrolan kami sejumlah arsitek muda Austria dan mahasiswa arsitektur di sana menyela untuk meminta tanda-tangannya. Tak satupun yang dia tampik. Dia bahkan memberi saya kartu namanya lalu memberi tanda tangan di sisi sebaliknya, kemudian mengeluarkan satu kartu nama lagi untuk Pak Goestaf Abbas. Setelah itu dia mengajak saya mencicipi hidangan snack dan cocktail bersama arsitek Austria lainnya. Saya pura-pura ikut, lalu menghindar sesampainya di tempat hidangan karena snack-nya boleh jadi berisi daging babi sedangkan cocktail-nya pasti mengandung alkohol.

(Sudah lama saya tidak mendengar kabar tentang Pak Goestaf. Ada yang mengatakan Beliau sudah uzur sehingga tidak lagi mengajar di Universitas Pancasila. Bagaimana cara memberikan kartu nama teman sekelasnya di Berkeley ini?)

Laptop

Laptop sekarang sudah menjadi bagian dari perjalanan seseorang ke tempat lain. Supaya terhindar dari kerusakan, laptop dimasukkan ke dalam tas, ransel atau sarung yang dibuat khusus untuk perangkat canggih tersebut. Kalau bepergian ke luar negri, baik tas maupun ransel atau sarung tersebut tetap harus dilewatkan ke dalam mesin pemindai untuk keamanan penerbangan seperti juga tas jinjing dan barang lainnya yang kita bawa masuk ke dalam kabin pesawat. Sekarang pengawasan terhadap laptop ternyata semakin diperketat. Di hampir semua bandara internasional (kecuali bandara Soekarno-Hatta) yang saya singgahi dalam perjalanan ke Austria berlaku peraturan bahwa laptop harus dimasukkan ke dalam mesin pemindai secara terpisah dari tas, ransel atau sarungnya. Itu sangat merepotkan karena setiap kali akan memasuki ruang tunggu keberangkatan kita harus mengeluarkannya dari tas, ransel atau sarungnya dan memasukkannya lagi setelah melewati mesin pemindai tersebut. Di bandara Heathrow, London, pemeriksaan laptop bahkan lebih teliti lagi. Setelah melewati mesin pemindai, laptop kita masih harus diperiksa lagi dengan alat pemindai yang lebih peka. Laptop harus dibuka dan semua lembaran plastik atau karet yang biasanya kita tambahkan untuk menutupi bidang monitor serta pengetikan supaya tidak silau dan kotor harus dicopot sebelum pemindaian dilakukan. Setelah itu alat pemindai tadi dioleskan ke seluruh bidang permukaan bagian dalam laptop lalu disambungkan ke komputer petugas untuk melihat hasilnya. Karena melihat saya terheran-heran, petugas yang memeriksa laptop ketika itu menjelaskan bahwa sekarang bagian dalam laptop sering dipakai untuk menyelundupkan narkoba dan bahan-bahan peledak karena tidak akan terlihat ketika melewati mesin pemindai. Sebab itu dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan mesin pemindai handy yang lebih peka. Akibatnya waktu yang diperlukan untuk melewati pemeriksaan menjadi lebih panjang dan kita dengan demikian harus datang di bandara lebih awal lagi. Bagi para penumpang transit tidak ada lagi waktu luang untuk berbelanja atau sekedar window shopping karena harus secepatnya antri di tempat pemeriksaan menuju ke ruang tunggu keberangkatan bila tidak ingin ketinggalan penerbangan lanjutan.

Bepergian ke luar negri dewasa ini rupanya sudah bukan lagi suatu privilege, lagipula jauh dari nyaman. Pengelola bandara Heathrow tampaknya memaklumi perasaan tersebut. Sebab itu mereka memanfaatkan bis yang membawa perpindahan para penumpang dari satu terminal ke terminal lainnya untuk menjelaskan prosedur pemeriksaan yang semakin panjang dan berbelit-belit tadi melalui tayangan di layar televisi yang terpasang dalam bis-bis tersebut. Di akhir tayangan si pembawa acara mengatakan: “Terbang akan tetap menjadi pengalaman yang menyenangkan asalkan Anda mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Selamat terbang”.

Paspor

Paspor adalah dokumen jati diri kita apabila bepergian ke luar negri. Ijin memasuki negri yang akan kita datangi juga diterakan dalam paspor. Karena itu paspor merupakan dokumen terpenting bagi kita selama berada di luar negri. Meskipun pada hakekatnya sama seperti kartu tanda penduduk (ktp), kehilangan paspor ternyata jauh lebih beresiko. Bila kehilangan ktp kita cukup melapor ke pos polisi resor (polres) terdekat untuk memperoleh surat keterangan dan selanjutnya diserahkan ke kelurahan untuk dibuatkan ktp baru. Kehilangan paspor jauh lebih rumit prosesnya. Kita harus melapor ke kantor polisi daerah (polda) sehingga belum tentu segera dilayani karena jumlah dan ragam persoalan yang harus ditangani polisi di sana jauh lebih banyak. Setelah memperoleh surat keterangan kita tidak dapat langsung membuat paspor baru melainkan harus melalui proses pemeriksaan verbal di Direktorat Jendral Imigrasi dan hasil pemeriksaan tersebut akan disidangkan lebih dulu untuk menetapkan apakah kita diijinkan membuat paspor baru atau harus diberi sanksi lebih dulu.

Saya mengalaminya saat akan pergi ke Austria. Tas saya tertinggal di taksi dan paspor ada di dalam tas tersebut. Setelah menunggu seminggu, perusahaan taksi mengabarkan bahwa mereka tidak mendapat laporan apapun dari para supir mengenai tas tersebut. Padahal saya harus segera mengurus visa Austria untuk memenuhi undangan Kementrian Luar-Negri di sana sebagai anggota juri sayembara perancangan bangunan gedung kedutaan besar Austria di Jakarta. Biro perjalanan langganan saya mencoba menolong membuatkan paspor baru, tapi dalam wawancara saya harus menyatakan bahwa ini merupakan paspor yang pertama. Karena tidak jujur, tindakan itu akhirnya terlacak sebab paspor yang hilang sudah masuk dalam data computer. Berarti saya harus mengikuti prosedur verbal yang dapat memakan waktu minimal 2 bulan. Masih ada tawaran dari biro perjalanan tadi untuk mempercepat prosesnya dengan biaya ekstra yang amat mahal namun saya putuskan untuk mengikuti prosedur saja dan sudah pasrah tidak jadi bepergian ke Wina, Austria. Keputusan tersebut saya sampaikan kepada pihak kedutaan Austria, namun duta besarnya berpikiran lain. Saya harus ke Wina menjadi salah satu juri karena acaranya sudah dipersiapkan sejak lama. Sebab itu dia menelpon Direktur Jendral Imigrasi yang segera memerintahkan aparatnya untuk membereskan persoalan saya dalam waktu sehari karena malam harinya saya harus naik pesawat menuju ke Wina, Austria. Paspor benar-benar selesai sore hari dan untuk mengambilnya saya menempuh perjalanan jauh dari Tangerang ke Jakarta, dilanjutkan dengan perjalanan ke kedutaan besar Austria di kawasan Rasuna Said tepat pada saat puncak kemacetan lalu-lintas. Sesudah itu saya masih harus pulang ke rumah untuk memasukkan pakaian ke dalam koper dan menaruh mobil, lalu naik taksi ke bandara pas ketika jalan tol menuju ke sana juga tengah macet berat. Akhirnya saya ketinggalan pesawat dan baru berangkat keesokan harinya. Semua itu hanya gara-gara kehilangan paspor. Sebab itu hati-hatilah. Buat fotokopi paspor karena akan sangat membantu ketika hilang. Namun yang utama tentu saja jangan sampai kehilangan sebab paspor itu lebih “sakti” daripada ktp!


Tidak ada komentar: